Pendidikan: Sistem yang Dibanggakan, Tapi Terlalu Banyak Lubang

Pendidikan: Sistem

Pendidikan: Sistem – Setiap tahun, gedung sekolah bertambah tinggi, fasilitas makin canggih, dan anggaran pendidikan digelontorkan dengan angka triliunan. Namun, ketika murid-murid duduk di balik bangku-bangku mewah itu, satu hal masih terasa kosong: esensi pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan di Indonesia kerap kali tampak hebat di permukaan, tapi rapuh di dalam. Terlalu banyak yang di banggakan secara statistik, terlalu sedikit yang benar-benar berdampak.

Kurikulum berubah hampir tiap pemerintahan baru, seperti proyek coba-coba yang menyeret jutaan anak dalam eksperimen pendidikan tak berkesudahan. Materi pelajaran padat, namun minim kontekstualisasi. Anak-anak dijejali teori, tanpa pernah di ajarkan bagaimana berpikir. Mereka tahu rumus, tapi bingung ketika harus mengaplikasikannya dalam hidup. Mereka hafal Pancasila, tapi tak tahu cara menjunjung nilai-nilainya dalam tindakan sehari-hari.

Guru: Di Giring jadi Robot Administratif

Tak bisa bicara soal pendidikan tanpa menyebut guru. Di pundak mereka beban pendidikan bangsa di serahkan. Tapi lihat apa yang terjadi: guru kini lebih banyak berhadapan dengan laporan, data, dan sistem digital yang rumit, daripada dengan anak-anak yang seharusnya mereka bimbing.

Birokrasi membuat guru kehabisan waktu. Di atas kertas mereka di gaji dan di latih, namun kenyataannya, banyak dari mereka kehabisan energi hanya untuk memenuhi standar administrasi yang absurd. Ketimbang menjadi pendidik yang inspiratif, mereka di paksa jadi operator sistem. Pendidikan pun kehilangan sentuhan slot bonus.

Sekolah Swasta Jadi Raja, Pendidikan Jadi Komoditas

Di tengah kekacauan sistem, muncullah sekolah-sekolah swasta elite yang menawarkan solusi dengan harga selangit. Pendidikan tak lagi menjadi hak dasar, tapi barang mewah yang hanya bisa di beli oleh mereka yang mampu. Anak-anak dari keluarga mampu bersekolah dengan kurikulum internasional, fasilitas setara hotel, dan guru dari luar negeri. Sementara anak dari keluarga biasa harus rela duduk di kelas sempit dengan kipas angin rusak dan buku pinjaman.

Ketimpangan ini menciptakan jurang sosial yang semakin dalam. Ironisnya, mereka yang di sebut “pintar” dalam sistem ini hanyalah mereka yang mampu membeli pendidikan berkualitas. Bukan karena mereka lebih cerdas, tapi karena mereka punya akses. Di sinilah pendidikan bukan lagi penyamarata kesempatan, tapi alat pelanggeng kasta sosial.

Siswa Terjebak dalam Sistem Penghafal

Lihatlah bagaimana siswa hari ini menghadapi ujian. Mereka menghafal buku slot terbaru, merapal latihan soal, dan mengikuti les dari pagi sampai malam. Tujuannya bukan untuk memahami, tapi untuk lulus. Mereka di paksa mengejar angka-angka, bukan makna. Nilai 100 jadi patokan, bukan pemahaman mendalam. Kreativitas di bungkam oleh standar ujian nasional. Pertanyaan kritis di anggap pembangkangan, dan inovasi di curigai sebagai penyimpangan.

Kondisi ini tak hanya membunuh semangat belajar, tapi juga menyiapkan generasi pekerja yang patuh tanpa nalar. Pendidikan hari ini tidak mendidik manusia berpikir, tapi melatih manusia untuk tunduk pada sistem.

Teknologi Masuk Sekolah, Tapi Apa Gunanya?

Bicara soal modernisasi, teknologi kini jadi primadona. Setiap sekolah berlomba-lomba menunjukkan digitalisasi. Ada e-learning, platform daring, dan aplikasi absensi pintar. Tapi pertanyaannya: apakah semua itu berdampak pada kualitas pembelajaran?

Faktanya, banyak siswa dan guru gagap teknologi. Internet lemot, gawai terbatas, dan aplikasi yang rumit justru menjadi beban tambahan. Alih-alih membantu proses belajar, teknologi menjadi pajangan. Bahkan di daerah-daerah terpencil, digitalisasi sekolah terdengar seperti dongeng. Padahal, mereka butuh air bersih dan meja layak sebelum bicara soal tablet dan WiFi.

Pendidikan Karakter, Sekadar Slogan Kosong

Pemerintah suka menyisipkan kata “karakter” dalam setiap kebijakan pendidikan. Tapi lihat di lapangan, apa yang di sebut pendidikan karakter hanya sekadar hafalan tentang kejujuran, kerja keras, dan cinta tanah air. Tidak ada praktik nyata. Tidak ada pembiasaan. Yang ada hanyalah kegiatan seremonial seperti upacara dan lomba-lomba musiman yang tak menyentuh akar.

Anak-anak tak diberi ruang untuk tumbuh sebagai manusia utuh. Mereka di ajarkan disiplin tapi tak pernah di ajak berdiskusi. Di beri tugas tentang toleransi tapi hidup dalam lingkungan sekolah yang diskriminatif. Pendidikan karakter di Indonesia tak ubahnya lukisan indah yang mudah retak ketika di sentuh kenyataan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *